ads top

Jumat, 04 Februari 2011

Listrik di Jawa, Debu di Cilacap (bag.1)

Sugriyatno, seorang warga Cilacap, tak pernah terlambat membayar cicilan rumahnya, type 36, di daerah Griya Kencana Permai (GKP). Perumahan ini terletak pas di depan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Cilacap, sekitar empat jam bila naik mobil dari Jogjakarta. Sugriyatno dan istrinya juga mulai menabung guna menambah ruangan rumahnya, membangun lantai dua. Sudah delapan tahun keluarganya membayar cicilan rumah tersebut, tinggal tujuh tahun lagi lunas. Tapi sejak PLTU Cilacap beroperasi, semangatnya untuk memperluas dan mempercantik rumah surut. "Mau mengecat ulang rumah saja malas," katanya.

Debu hitam senantiasa datang dari tumpukan batubara PLTU Cilacap. Mesin-mesin PLTU Cilacap beroperasi sejak Mei 2006. Mesin-mesin ini membuat mimpi keluarga Sugriyatno surut. Apalagi sejak 14 tetangganya memilih pindah, meninggalkan rumah mereka di perumahan GKP.

Mereka membuat surat dan menyatakan tak tahan dengan debu hitam yang terus memasuki rumah mereka, apalagi di musim kemarau saat angin kencang. Warga harus membersihkan debu lembut, agak lekat, berwarna hitam pekat di rumahnya - berkali-kali setiap harinya.

Raungan mesin PLTU pada malam hari juga mengganggu tidur. Belum lagi bau sengir - bau batubara terbakar, terkadang membuat perut mual. Istri Sugriyatno pun mulai mendesak suaminya untuk pindah dari perumahan tersebut. Sayang, mereka tak punya cukup uang untuk mendapatkan rumah baru.

Kehadiran debu, membuat peminat perumahan itu menurun drastis. Developer GKP telah membangun sekitar 300 unit perumahan. Kawasan perumahan tersebut terletak di pinggiran pantai selatan Cilacap, masuk kawasan Kewasen, desa Karangkandri, kecamatan Kesugihan. Perumahan itu berdekatan dengan jalan utama yang menghubungkan kota Purwokerto dan Cilacap. Hingga tahun 2006, sekitar 200 unit rumah GKP telah terjual. "Jangankan untuk menambah penjualan, bahkan empat belas rumah telah ditinggalkan pemiliknya," kata Sugriyatno.

Kepada Harian Sinar Harapan, Woyo, salah satu warga yang pindah mengungkapkan, "Saya sudah pindah ke kota Cilacap, karena kalau ada debu yang masuk, anak saya batuk-batuk. Selain itu, dia juga menderita pilek yang tidak sembuh-sembuh. Saya tidak tahu kenapa, mungkin ada hubungannya dengan debu batu bara dari PLTU. Nyatanya, setelah saya pindah, batuknya bisa sembuh."

Suatu Jum?at sore bulan Juni lalu, Eka Early, istri Sugriyatno, mengajak rombongan saya keluar rumah. "Coba hirup udaranya Mbak. Rasakan baunya, seperti bau sesuatu terbakar," kata Eka. Baunya tak bisa saya lukiskan, seperti bau barang terbakar, bau batubara terbakar - sengir, terasa memenuhi udara. Makin lama semakin menyengat, tidak menyenangkan.

Suara raungan mesin juga terdengar makin keras menjelang malam. Eka Early bilang, tak hanya perumahan GKP yang menderita polusi udara ini, "Dusun Winong Mangenti dan dusun Kewasen , sekitar satu kilometer dari PLTU, juga mengalami hal yang sama. Mereka mendapat debu, suara bising dan bau tak sedap," ujarnya. Wajah Eka penuh dengan kemarahan.

PLTU Cilacap diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 November 2006. Menurut beberapa saksi mata, waktu itu Cilacap berhias cantik menyambut kedatangan presiden dan para menterinya. Banyak pejabat pemerintah Jawa Tengah dan kabupaten Cilacap menyambut kedatangan SBY. Ratusan warga juga berjajar rapi depan pagar pintu masuk PLTU. Mereka sebagian besar terdiri dari anak-anak, kaum ibu dan warga Perumahan GKP serta tiga dusun, yang berada pada sekitar satu kilometer dari PLTU Cilacap: dusun Winong, Menganti Kisik dan Kewasen.

Berbeda dengan wajah-wajah rombongan SBY, yang berhias senyum, wajah warga berhias cemberut. Mulut mereka ditutup masker. Mereka protes debu batubara dari PLTU. "Biar Presiden dan pejabat tahu, PLTU telah menimbulkan pencemaran dan harus segera diatasi. Tiap hari kita menghirup udara tercemar, makanan serta perumahan pun tertutup debu hitam," kata Tari, seorang tetangga Eka Early, yang dikutip Pikiran Rakyat.

Protes damai ini diawasi ketat polisi serta satu kelompok milisi, yang mengenakan kaus Big Family SBY Fans Club. Sayangnya, aksi masker tersebut tak menarik perhatian SBY. Kendaraan rombongan presiden melaju masuk ke gedung PLTU.

"Pembangunan PLTU Cilacap merupakan prestasi yang cukup membanggakan. Sebab, pembangkit listrik yang masuk ke jaringan interkoneksi Jawa-Bali itu hanya dibangun dalam waktu 24 bulan," kata Purnomo Yusgiantoro, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Menurutnya, pembangunan PLTU biasaya membutuhkan waktu 36 bulan.

Tiga tahun lalu, Komisi A DPRD Cilacap dan sejumlah LSM memperkarakan pembangunan PLTU Cilacap yang Amdal-nya belum selesai. Meskipun melanggar UU Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah tentang Amdal, pembangunan pembangkit listrik itu jalan terus. Pemerintah Jakarta dan Cilacap memutuskan mengurus perizinan dan pelaksanaan proyek secara bersamaan.

PLTU Cilacap menggunakan bahan bakar batubara. Pembangkit ini akan memenuhi kekurangan daya listrik Jawa dan Bali. Dua pulau ini paling rakus energi di seluruh kepulauan Indonesia. Lebih dari 74% listrik dari Perusahaan Listrik Negara terserap untuk Jawa dan Bali. Sebagian besar listrik digunakan untuk kebutuhan industri dan rumah tangga. Sejumlah 600 MegaWatt listrik didapat dari PLTU Cilacap.

Sejak tiga tahun lalu, Kasminah, seorang ibu berusia 50 tahunan, tak bisa lagi pergi ke kisik - kebun pantai. Tempat keluarganya menanam Pari, Muntul dan Budhin, nama lokal untuk Padi, Ketela pohon dan Singkong.

Di atas lahan kisiknya telah berdiri bangunan megah, gemerlap di malam hari, lengkap dengan menara tinggi menjulang, yang terus mengeluarkan asap putih. Ini PLTU Cilacap. Sekitar 94 hektar lahan sepanjang pantai Kewasen dan Menganti Kisik kini menjadi kawasan PLTU Cilacap.

Kasminah dan ibu-ibu tetangganya di dusun Kewasen dan Winong, juga tak bisa lagi ngerepek - mencari kayubakar untuk memasak - yang biasanya mudah mereka dapati di sepanjang pantai, di depan kisik. Disana, mereka juga mencari atum, atau sampah plastik, yang hanyut di laut dan terdampar dipantai. Atum yang masih baik, mereka pungut, dikumpulkan dan dipilah. Untuk sekarung atum, mereka bisa menjualnya seharga Rp 1,000. Jika banyak sampah plastik terdampar, dalam sehari, bisa 10 karung atum mereka kumpulkan. Lumayan dapat Rp 10,000.

Sayangnya, Kasminah tak bisa berbuat apa-apa saat buldozer PLTU Cilacap meratakan lahan mereka. Padahal padinya baru ditanam.Tumpukan kayu bakar di kisik juga belum sempat dia bawa pulang. Kasminah tak berani menghalangi. Buldozer tersebut dijaga ketat aparat bersenjata. Dia juga tak diberitahu sebelumnya kalau kisiknya akan diratakan.

Entah bagaimana sejarahnya, hingga TNI Angkatan Darat memiliki tanah luas di sepanjang pesisir selatan Kewasen dan Menganti Kisik. Warga menyebutnya sebagai tanah Kokon.

Untuk bisa menggarap lahan Kokon, Kasminah dan warga Kewasen lainnya harus mendapatkan ijin dari TNI AD dan membayar sewanya. Ijin tersebut berupa surat yang dikeluarkan Detasemen Zeni Bangunan I/IV Kodim 0730 Cilacap. Salah satunya, Ningan - yang memiliki surat tertanggal 15 April 2002 - berstatus petani penggarap tanah, dan harus menyerahkan kembali tanah tersebut jika TNI AD akan menggunakan tanah tersebut tanpa minta ganti rugi apapun.

Lahan kisik sangat membantu perekonomian sebagian besar warga Winong dan Kewasen. Dusun Winong mengelola sekitar 2,63 ha lahan kisik. Penggarapnya sekitar 41 orang. Sejak kisik tak bisa lagi ditanami, Kasminah tak tahu harus mencari penggantinya darimana.

"Dulu kami tak perlu mencari kayu bakar di halaman rumah dan kebun, yang tak terlalu banyak jumlahnya. Kami biasa ngerepek di depan kisik. Pasang laut yang membawa kayu-kayu besar membuat kami senang, artinya persediaan kayu bakar kami melimpah. Sekarang kami hanya bisa ngerepek di halaman rumah atau dikebun. Susah pokoknya," tutur Kasminah kepada saya.

Kasminah menambahkan, dalam logat Banyumas, "Biasanya pada jam-jam seperti ini saya dan teman-teman masih bekerja di kisik, kadang ngerepek dan mencari atum. Sejak PLTU berdiri, tak bisa lagi."

"Sekarang, setiap hari kerja saya hanya dolan dan madang," kata Kasminah. Dia menyebut dolan (bermain) dan madang (makan) untuk memberikan pengandaian bahwa perempuan semakin susah mencari kerja dan hanya bisa bermain dan makan. Saat saya mengunjunginya di dusun Kewasen, Ibu Kasminah sedang nonggo - bermain kerumah tetangganya. Dia sedang mengobrol dengan empat orang perempuan tetangganya, berbagai umur.

"Perempuan yang lebih muda di Kewasen masih punya pilihan," tambah Kasminah. "Mereka bisa pergi ngembret ke Bandung dan Jakarta." Ngembret adalah istilah untuk mencari kerja dengan menjadi pembantu rumah tangga di kota atau pekerjaan lainnya. Lelaki juga pergi ngembret cuma biasanya tak terlalu jauh, dan kebanyakan mereka memilih bekerja di laut atau pekerjaan serabutan lainnya.

Daslam, berusia 38 tahun, tinggal di dusun Menganti Kisik. Dia memliki dua orang anak, salah satunya sudah bersekolah di SMP. Sawahnya seluas 50 ubin. Satu ubin sama dengan 14 meter persegi.

Sejak banjir besar dua tahun lalu, lahan miliknya tak subur lagi, tak bisa lagi ditanami padi. "Biasanya padi Sentani yang kami tanam, bisa panen dua kali selama musim rendeng (hujan). Jika hasil panen baik, biasanya panen sekitar 10 kwintal gabah. Setelah digiling, kami mendapat sekitar 700 kilogram beras. Semuanya kami simpan untuk persediaan makanan keluarga."

"Bangunan PLTU yang letaknya lebih tinggi dibanding kawasan pemukiman dan sawah warga, telah mengubah kawasan resapan air dan menutup saluran drainase dusun Menganti Kisik, termasuk alur sungai ke arah laut" kata Sugriyatno. "Dulunya, kawasan tersebut adalah lahan basah dan persawahan," tambahnya.

Akibatnya, saat hujan deras tahun 2005, air tak bisa keluar sehingga menggenangi lahan warga. Dusun Kewasen juga kebanjiran karena saluran airnya ke arah Menganti Kisik ikut tertutup. Warga Menganti Kisik sempat ngeluruk atau bersama-sama mendatangi PLTU dan mendesak agar mereka mengembalikan saluran drainase dusun mereka dan meminta ganti rugi gagal panen. Perusahan lantas membuat saluran pembuangan dari arah dusun Winong. Akibatnya lebih parah, air laut saat pasang masuk ke Winong melalui saluran drainase tersebut.

Pengelola PLTU hanya bersedia membayar kerugian selama satu kali panen di Menganti Kisik. Rata-rata warga mendapatkan ganti rugi setara dengan harga 13 kwintal gabah kering, untuk lahan dengan luasan seperempat bahu atau 125 ubin. Tak semua warga mendapat ganti rugi. Beberapa lainnya masih menunggu uang tersebut.


jatam.org | 27 Juli 2007